Beritadan foto terbaru Kebenaran Hakiki Milik Allah - Tarekat Naqsyabandiyah Rayakan Idul Fitri Lebih Awal Tuan Guru Ingatkan Kebenaran Hakiki Milik Allah Selasa, 2 Juni 2020 Cari Kemuliaanitu hanya milik Allah, Rasul-Nya dan orang-orang Mukmin, tetapi orang-orang munafik tidak mengetahuinya. (QS al-Munafiqun [63]: 8). Akan tetapi, kemuliaan tersebut merupakan pancaran dan anugerah dari Allah.[5] Inilah secara umum tafsir surat an-Nisa' (4) ayat 138-139 di atas. Sebaiknyagunakanlah kalimat hanya allah yang tahu (wallahualam), karena kebenaran hanyalah milik Allah SWT sang pemilik langit dan bumi. Jadi siapapun yang mendengar penjelasan sahabat muslim, akan memaknai bahwa jika ingin mengetahui kebenaran yang sempurna bukanlah mencari tahu kepada sesama makhluk. Tapi langsung kepada Allah SWT melalui Karenaitu, ketika ada orang yang menyatakan, " Yang Tahu Kebenaran Hanya Allah" ini jelas mendustakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Atau setidaknya menganggap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga tidak tahu kebenaran. Jika kaidah ini berlaku, berarti orang mengatakan, 'Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu' telah berbuat syirik. . Wallahualam bissawab dan Allah lebih mengetahui yang sebenar-benarnya. Seringkali kita terjebak pada situasi dimana terdapat lebih dari satu cara pandang dari suatu masalah. Masing-masing memiliki dalil atau dasar pemikiran yang sama-sama kuat dan dilandasi dengan berbagai macam contoh kejadian di masa lalu yang memperkuat pemikiran tersebut. Semakin kita merasa telah memahami suatu konsep pemikiran semakin kita yakin pada apa yang kita yakini benar. Sebagai orang yang beriman, sudah selayaknya keyakinan kita pada ajaran agama yang kita anut haruslah total dan terpelihara. Yang dimaksud terpelihara disini adalah apa yang kita lakukan hendaklah sesuai dengan apa yang diperintahkan dan diajarkan agama. Yang bisa menjadi masalah adalah ketika pemahaman dan cara pandang kita seringkali berbeda-beda berdasarkan apa yang kita lihat, rasakan dan alami yang akhirnya menjadi keyakinan yang kita pegang teguh. Disinilah masing-masing kita sebagai orang beriman harus lebih berhati-hati ketika mengatakan bahwa pemahaman kita adalah yang paling benar. Al Qur’an mengajarkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh manusia, baik dia seorang muslim maupun non muslim. Al Qur’an juga menyatakan bahwa Allah tidak memerlukan apapun dari makhluk ciptaannya. Dari sini kita bisa mengambil hikmah bahwa ternyata apa yang diperintahkan maupun dilarang oleh Allah melalui Al Qur’an maupun kitab-kitab sebelumnya adalah demi kebaikan manusia itu sendiri. Ketika menjalankan ajaran Al Qur’an sesuai pemahaman dan keyakinan yang timbul dari dalam diri kita maupun guru kita dan ketika ternyata hasilnya adalah sesuatu yang menimbulkan perdebatan dan bahkan perpecahan, akan lebih mulia di sisi Allah apabila masing-masing kita memilih bersabar dan kembali merenung dan melakukan introspeksi dibandingkan menempuh jalan kekerasan. Hal ini lebih mudah dilakukan apabila kita memegang prinsip bahwa hanya Allah yang maha benar dan manusia adalah makhluk-Nya yang cenderung pada khilaf dan kesalahan. Marilah kita sama-sama berlatih memelihara keimanan kita dan selalu ber-istghfar ketika kita merasa yang paling benar, karena kebenaran hakiki hanya milik Allah sang pencipta. Wallahualam bissawab. By at 5/15/2016 Pernahkah ada yang membaca kalimat seperti judul diatas atau sejenisnya? Ya seperti “Kebenaran hanya milik Tuhan, manusia tidak tahu kebenaran”, “hanya Tuhan yang boleh menghakimi, manusia tidak boleh menghakimi”, “benar tidaknya hanya Allah yang tahu, kita tidak boleh menilai orang salah atau benar”, dst. Sepintas mungkin terlihat benar, sepintas mungkin memang terlihat indah, sepintas tidak ada masalah pada kalimat-kalimat tersebut. Tapi jika diperhatikan lebih lanjut, ada masalah dalam kalimat-kalimat tersebut. Memang, hanya Allah lah Yang Maha tahu segalanya, kebenaran hakiki hanyalah milik Allah semata. Namun, jika memang kebenaran itu hanya Allah yang tahu, lalu bagaimana kita bisa hidup dalam kebenaran? Sedangkan Rasulullah mengajarkan kita untuk hidup dalam kebenaran, dalam kebaikan, dalam nilai-nilai Ilahi. Ya, itu memang ucapan-ucapan yang sering digembar-gemborkan oleh orang-orang yang memiliki agenda merusak pola pikir umat Islam, atau mungkin orang-orang yang menjadi korban mereka. Di tangan mereka, di ucapan mereka, kebenaran menjadi relatif, kebenaran menjadi tergantung siapa yang mendefinisikan kebenaran tersebut, termasuk kebenaran dalam hal agama Islam ini. Liberal sekali! Orang-orang jadi ragu untuk menyatakan mana yang salah dan mana yang benar. Orang-orang jadi ragu untuk mencegah kemungkaran dan malas untuk mengajak kepada kebaikan, karena semuanya relatif, karena hanya Tuhanlah yang tahu apa itu kebenaran. Begitukah ? Seperti yang sudah sebutkan tadi, jika memang kebenaran hanya robb yang tahu, jika memang manusia sama sekali tidak boleh menghakimi lalu bagaimana kita harus menilai mana yang salah dan benar? Lalu apa gunanya hukum-hukum yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah? Jadi, apakah kebenaran itu? reshare from asyraf Baca Juga Info Penting langganan artikel menerima tulisan, informasi dan berita untuk di posting menerima kritik dan saran, WhatsApp ke +62 0895-0283-8327 Tafsir Surat an-Nisa’ 138-139 }بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا ~ الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ للهِ جَمِيعًا {~ Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, yaitu orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. An-Nisa’ 138-139 Tafsir Ayat Allah Swt. menyatakan kepada Rasulullah saw. agar beliau memberitahukan “kabar gembira” kepada orang-orang munafik, yaitu azab yang sangat pedih Basysyir al-munâfiqîn bianna lahum adzâb[an] alîma. Allah sengaja menggunakan kata basysyir beritahukanlah “kabar gembira”. Hanya saja, “kabar gembira” yang disampaikan kepada mereka bukannya pahala atau surga, melainkan azab. Penggunaan kata basyârah kabar gembira dalam konteks seperti ini merupakan uslûb tahakkum gaya bahasa sarkasme,[1] dengan maksud untuk menghina mereka. Padahal azab yang akan ditimpakan kepada mereka adalah azab yang sangat pedih, sebagaimana yang dinyatakan dengan kata alîm sangat pedih yang merupakan bentuk mubâlaghah klimaks, yang dimaksud tidak lain adalah neraka jahannam. Allah Swt. kemudian menjelaskan ciri kemunafikan mereka, yaitu mereka menjadikan orang-orang kafir sebagai pelindung dan teman setia dengan meninggalkan orang-orang Mukmin al-ladzîna yattakhidzûna al-kâfirîna awliyâ’ min dûni al-mu’minîn. Menurut Ibn al-Abbas, orang-orang kafir yang dijadikan pelindung dan teman setia orang-orang munafik—dalam konteks turunnya ayat—ini adalah Yahudi Bani Qaynuqa’.[2] Mereka beranggapan, kemuliaan kekuatan dan kemenangan itu akan berpihak kepada orang kafir, sehingga mereka menjadikan orang-orang kafir sebagai pelindung dan teman setia. Namun, anggapan tersebut dibantah oleh Allah dengan istifhâm inkâri pertanyaan retoris apakah mereka mencari kemuliaan pada mereka orang-orang kafir itu ayabtaghûna indahum al-izzah?[3] Pertanyaan tersebut tidak memerlukan jawaban, karena jawabannya sudah jelas. Sebab, mustahil mereka bisa menemukan kemuliaan tersebut pada orang-orang kafir. Sesungguhnya kemuliaan itu semuanya hanya milik Allah fainna al-izzata li Allâhi jamî’a. Dalam kalimat tersebut, Allah menggunakan huruf fa at-taqîb untuk menyatakan sebab, yang mempunyai konotasi “menjelasan alasan” penolakan Allah terhadap kemustahilan mencari kemuliaan pada selain Allah.[4] Dengan begitu, seakan-akan Allah hendak menyatakan, “Mungkinkah mereka mencari kemuliaan pada mereka orang-orang kafir?” Jawabannya, “Tentu, tidak mungkin.” Sekalipun jawaban ini tidak dinyatakan secara eksplisit, dengan pertanyaan yang berbentuk penegasian itu orang pasti bertanya, “Mengapa tidak mungkin?” Karena itu, Allah menjelaskan alasan-Nya, “Sebab, sesungguhnya kemuliaan itu semuanya hanya milik Allah fainna al-izzata li Allâhi jamîa.” Allah menegaskan alasan-Nya dengan menggunakan huruf ta’kîd stressing/ penegasan inna dan lâm li hashr yang berfungsi untuk mengkhususkan, yaitu li Allâh hanya milik Allah; ditambah lagi dengan al li al-istighrâq yang berfungsi menyedot pada kata al-izzah semua kemuliaan; dan dikuatkan lagi dengan kata jamîa semuanya. Semua itu semakin menguatkan kesan bahwa seluruh kemuliaan—baik yang ada di langit dan bumi maupun di dunia dan akhirat—hanya milik Allah. Memang disebutkan pula bahwa kemuliaan itu ada pada selain Allah, seperti Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, sebagaimana firman-Nya وَِللهِِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لاَ يَعْلَمُونَ ~ Kemuliaan itu hanya milik Allah, Rasul-Nya dan orang-orang Mukmin, tetapi orang-orang munafik tidak mengetahuinya. QS al-Munafiqun [63] 8. Akan tetapi, kemuliaan tersebut merupakan pancaran dan anugerah dari Allah.[5] Inilah secara umum tafsir surat an-Nisa’ 4 ayat 138-139 di atas. Wacana Tafsir Hakikat Nifâq dan Kemuliaan al-Izzah Nifâq diambil dari kata nafiqâ’ bukan dari nafaq. Nafiqâ’ adalah salah satu ruang bagi yarbû’ jerboa, binatang sejenis tupai, yang sebagian ruangannya ditutupi, sementara sebagian yang lain dibuka. Kata nifâq dengan konotasi seperti ini sangat populer di kalangan orang Arab. Al-Quran memberikan konotasi lain, yaitu “di dalam Islam mempunyai wajah yang berbeda dengan di luar Islam” atau munafik, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ ءَامَنُوا قَالُوا ءَامَنَّا وَإِذَاخَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ Bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, “Kami telah beriman.” Sebaliknya, bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami sependirian dengan kalian; kami hanyalah berolok-olok.” QS al-Baqarah [2] 14. Konotasi kata nifaq tersebut sebelumnya belum pernah dikenal oleh orang Arab. Artinya, istilah dan konotasi tersebut benar-benar merupakan istilah syarî yang diperkenalkan oleh Islam.[6] Dengan demikian, nifâq adalah sikap menyembunyikan apa yang ada dalam hati batin yang berbeda dengan apa yang ada di permukaan lahir.[7] Dalam hal ini, taqiyyah—sekalipun ada taqiyyah yang kemudian dibolehkan, sedangkan nifâq tidak—termasuk bentuk nifâq. Orangnya disebut munâfiq. Menurut al-Jurjani, munâfiq adalah orang yang memberikan kesaksiannya sebagai orang yang beriman dan melaksanakan perintah dan larangan Allah, tetapi tidak meyakininya.[8] Orang munafik memang kata-kata dan janjinya sulit dipercaya. Di samping itu, mereka adalah para pengkhianat yang tidak pernah amanah.[9] Mereka adalah orang-orang oportunis yang menjilat sana-sini untuk mencari peluang demi keuntungan pribadi mereka. Ketika orang lain berjuang dengan mengorbankan harta, darah, dan waktu, mereka hanya duduk di belakang sebagai penonton. Giliran orang lain berhasil, mereka maju ke depan menampilkan dirinya seolah-olah mereka adalah pejuang. Mereka tidak mau menanggung risiko, tetapi ingin untung. Inilah sifat orang-orang munafik. Padahal, keimanan menuntut pengorbanan sebagai bukti kebenaran imannya. Tanpa itu, keimanan tersebut tidak akan pernah tampak. Allah Swt. berfirman أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لاَ يُفْتَنُونَ Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan, “Kami telah beriman,” sedangkan mereka tidak diuji lagi? QS al-Ankabut [29] 2. Surat an-Nisa’ ayat 138-139 tersebut juga menjelaskan ciri-ciri orang munafik, antara lain, menjadikan orang kafir sebagai pelindung dan teman setia wâlî. Menjadikan orang kafir sebagai wâlî juga berkonotasi meminta bantuan, berteman dan membangun cinta kasih di antara mereka, dan sebagainya.[10] Surat an-Nisa’ ayat 140 juga menjelaskan, bahwa ikut nimbrung dalam pembicaraan dengan orang kafir juga dilarang. Ini juga merupakan ciri lain orang munafik. Sebab, dengan itulah, mereka akan terlibat dengan orang-orang kafir untuk membuat makar terhadap Islam dan kaum Muslim, sementara sikap nifâq—yang notabene tidak ingin memnaggung risiko—itu cenderung mengikuti apa yang dikehendaki oleh orang-orang kafir. Ini merupakan sifat nifâq yang—merupakan konsekuensi dari sikap oportunis mereka— paling berbahaya. Tentu karena ada anggapan, bahwa sikap itulah yang akan mendatangkan kemuliaan mereka. Padahal, tidak ada kemuliaan kecuali hanya dengan kembali kepada Allah. Allah Swt. sebagai Pemilik segala kemuliaan— akan memberikan kemuliaan kepada Rasul-Nya, juga kepada orang-orang Mukmin, karena mereka menaati-Nya. Dengan kata lain, kemuliaan itu seharusnya dicari dengan jalan menjadikan Allah dan orang-orang Mukmin sebagai wâlî pelindung dan penolong mereka, bukan orang kafir. Wacana Tafsir Bahaya Sikap Nifâq Melihat realitas nifâq di atas, jelas bahwa sikap seperti ini sangat berbahaya. Bahaya sangat dahsyat yang akan selalu mengintai sikap hipokrit ini adalah muwâlah al-kuffâr ber-wâlî kepada orang kafir; menjadikan orang-orang kafir sebagai teman setia dan pelindung serta meminta bantuan dan membangun cinta kasih dengan mereka. Bahkan, ketika sikap hipokrit dan muwâlah tersebut sampai pada klimaksnya, pasti akan menjadi ancaman yang mematikan bagi umat, jika mereka hanya berdiam diri, tidak mengubahnya. Akibatnya, mereka akan tertimpa berbagai kenistaan, kehinaan, dan musibah. Contoh terbaik adalah kondisi yang dialami oleh kaum Muslim saat ini. Para penguasa mereka adalah orang-orang oportunis yang sanggup menjual diri mereka untuk menjadi kaki tangan negara-negara kafir agar dapat atau tetap berkuasa. Mereka tidak berani mengucapkn kata “Tidak!” terhadap setiap keinginan dan kemauan negara imperialis kafir. Bahkan, mereka dengan senang hati memata-matai, menangkap, menyiksa, dan membunuh rakyatnya sendiri untuk mendapatkan keridhaan tuan mereka, yakni negara-negara imperialis kafir itu. Mereka terhipnotis oleh propaganda negara-negara imperialis kafir, bahwa kemuliaan ada di pihak mereka. Mereka tidak sendiri, karena mereka juga didukung oleh agen-agen intelektual; baik yang berbaju ulama, ilmuwan, ataupun pakar. Mereka adalah orang-orang munafik. Mereka beranggapan bahwa dengan ber-muwâlah kepada orang dan negara-negara imperialis kafir itu mereka akan mendapatkan kemuliaan. Padahal, sebenarnya semuanya itu hanya ilusi; persis seperti yang digambarkan oleh Allah dalam al-Quran مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. QS al-Ankabut [29] 41. Allah mengibaratkan kemuliaan yang dibangun dengan dukungan, bantuan, dan uluran tangan dari orang kafir itu laksana rumah laba-laba yang sangat rapuh dan hina. Akan tetapi, kebanyakan orang munafik itu tidak sadar. Bagaimana Benazir Buttho, yang menjadi presiden Pakistan atas dukungan Amerika, akhirnya dijatuhkan, kemudian digantikan dengan Nawaz Sharif. Nawaz Sharif juga sama, dijatuhkan melalui kudeta militer yang juga didalangi Amerika hingga berhasil menaikkan Musharraf. Hal yang sama juga dialami oleh Soekarno dan Soeharto. Kemuliaan ilusif mereka akhirnya rontok dengan hina, sebagaimana hancurnya rumah laba-laba yang begitu mudah, dan sangat hina. Inilah realitas yang tidak disadari oleh orang-orang munafik. Sebab, mereka sanggup melakukan apa saja untuk meraih tujuan sesaat mereka. Karena itu, orang-orang munafik itu bukanlah orang Mukmin, sehingga Allah tidak menyebutnya dengan menyatakan faulâika hum al-mu’minûn Mereka itulah orang-orang Mukmin. Sebaliknya, Allah menyatakan فَأُولَئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ Mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman. QS an-Nisa’ [4] 146. Mereka juga layak diganjar dengan siksaan yang amat dahsyat, yakni dengan ditempatkan di bagian neraka yang paling bawah, dan mereka tidak akan pernah menemukan satu penolong pun untuk menolong mereka dari azab Allah itu. Allah Swt. berfirman إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا Sesungguhnya orang-orang munafik itu ditempatkan pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. QS an-Nisa’ [4] 145. Wacana Tafsir Mengubah Kemunafikan menjadi Kemuliaan Nifâq merupakan dosa besar. Setiap perbuatan dosa bisa ditebus dengan bertobat kepada Allah. Dalam kasus nifâq, Allah telah menetapkan cara bagi orang munafik agar dosanya diampuni oleh Allah dan kemunafikannya berubah menjadi kemuliaan Pertama, mereka harus bertobat, yaitu meninggalkan sikap nifâq-nya. Hal itu mengharuskannya bersikap istiqâmah konsisten lahir-batin. Bukan lahirnya menyatakan A, sementara batinnya menyatakan B. Kedua, mereka harus memperbaiki niat dan amal mereka ishlâh, tidak riya. Ketiga, mereka harus berpegang teguh pada Allah i’tshâm bi Allâh, yakni dengan cara berpegang teguh pada Kitab-Nya dan sunah Nabi-Nya, apapun risiko dan konsekuensinya; sekalipun harus mengorbankan harta, darah, dan kedudukan mereka. Keempat, mereka harus memurnikan agama dan keberagamaannya hanya untuk Allah ikhlâsh dînihim li Allâh, yaitu tidak mengharapkan yang lain, selain Allah Swt. Semata; sekalipun untuk itu ia harus menuai berbagai cacian dan makian para pencaci maki. Jika kemunafikan tersebut berhasil diakhiri, sebaliknya empat langkah yang ditetapkan oleh Allah di atas ditempuh, maka pasti Allah akan memuliakan mereka, dan memberikan kemuliaan yang hakiki, bukan kemuliaan semu dan ilusif. Mereka, bersama-sama orang-orang Mukmin, akan mendapatkan pahala dan kedudukan yang mulia di sisi Allah Swt. [Hafidz Abdurrahman, MA.] [1] As-Shabûni, Shafwah at-Tafâsîr, juz I, hlm. 314. [2] Al-Qurthûbi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, juz V, hlm. 417. [3] As-Shabûni, Ibid, juz I, hlm. 314. [4] As-Syawkâni, Fath al-Qadîr, juz I, hlm. 526; al-Baydhawi menyebutnya fâ’ isti’nâf yang berfungsi memulai kalimat baru, yang berkonotasi ta’lîl atau ta’qîb; untuk menjelaskan alasan mengapa mustahil mencari kemuliaan pada selain Allah, sebab kemuliaan itu hanya milik Allah. Lihat, al-Baydhâwi, Tafsir al-Baydhâwi, juz III, hlm. 207. [5] As-Syawkâni, Fath al-Qadîr, juz I, hlm. 526. [6] Ibn Mandhûr, Lisân al-Arab, juz X, hlm. 358. [7] Al-Baydhawi, Tafsîr al-Baydhâwi, juz II, hlm. 268; An-Nawâwi, Syarh Shahîh Muslim, juz II, hlm. 47. [8] Al-Jurjâni, at-Ta’rîfât, juz I, hlm. 60. [9] An-Nawâwi, Syarh Shahîh Muslim, juz II, hlm. 46. [10] An-Nabhâni, as-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, Dâr al-Ummah, Beirut, cet. III, 1994, juz II, hlm. 264. Allah SWT berik petunjuk bagi siapapun yang dikehendaki. Berdoa kepada Allah/ilustrasi — Segala sesuatu yang terjadi di alam ini adalah atas kehendak Allah SWT. Tidak ada sesuatupun yang terjadi di luar kehendak-Nya. Allah memberikan petunjuk dan memudahkan seseorang beriman, bila orang itu mau memahami dan mengamalkan ayat-ayat yang telah disampaikan kepada para rasul-Nya. Sebagai konsekuensi ketidakpercayaan, Allah memandang hina dan mengazab setiap orang yang tidak mau memahami dan mengamalkan ayat-ayat-Nya. Kendati demikian, urusan hidayah pada dasarnya adalah hak prerogatif Allah SWT. Mengutip Tafsir Alquran Al-Adhim, karya Ibnu Katsir, berikut ini 10 ayat yang menegaskan otoritas hidayah hanya ada pada Allah SWT Yunus ayat 99-100 وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لآمَنَ مَنْ فِي الأرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ 99 وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تُؤْمِنَ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ 100 “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya." Hai Muhammad, niscaya Dia mengizinkan seluruh penduduk bumi untuk beriman kepada apa yang disampaikan olehmu kepada mereka, lalu mereka beriman semuanya. Akan tetapi, hanya Allah-lah yang mengetahui hikmah dalam semua apa yang dilakukan-Nya. Pengertiannya semakna dengan ayat lain yang disebutkan melalui firmannya. BACA JUGA Update Berita-Berita Politik Perspektif Klik di Sini Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Kebenaran mutlak adalah kebenaran yang hakiki dan sejati, sesuatu yang dapat melihat dan menyatakan keseluruhan realitas secara objektif, apa adanya. Kebenaran mutlak ini harus hanya ada satu saja dan merupakan suatu acuan atau standar bagi apa yang disebut dengan kebenaran relatif. Kebenaran mutlak itu mempunyai sifat universal berlaku bagi semua orang, tidak ada perkecualian , kekal lintas waktu dan ruang, tidak berubah-ubah, tidak berganti , integral tidak ada konflik di dalamnya dan tanpasalah bermoral tinggi, suci . Manusia jelas bukan kebenaran mutlak, karena ia tidak memenuhi syarat-syaratnya. Manusia bukan kebenaran mutlak karena ia makhluk ciptaan yang terbatas, bersifat subjektif dan dikuasai oleh ruang dan waktu. Bersifat subjektif artinya terhadap objek yang sama manusia mempunyai sudut pandang atau pendapat yang berbeda-beda. Kalau misalnya ada 1000 orang yang dimintai pendapatnya akan sesuatu objek, akan ada 1000 macam pandangan yang berbeda-beda. Manusia mengerti sesuatu sebatas pengertiannya sendiri dan melihat sesuatu sebatas daya lihatnya sendiri. Dia tidak bisa dan tidak mungkin bisa mengerti dan melihat sesuatu sebagaimana adanya. Jadi kebenaran yang dilihatnya dari sudut pandangnya sendiri yang terbatas itu bersifat relatif, bukan absolut mutlak . Dikuasai oleh ruang dan waktu mempunyai implikasi bahwa ia tidak mahatahu artinya banyak hal yang tidak diketahuinya, bisa salah dan selalu berubah berganti. Pandangan manusia itu sangat terbatas karena tubuh manusia dibatasi oleh ruang dan waktu. Manusia hanya bisa berada pada satu tempat pada waktu tertentu. Indra-indra tubuh manusia tidak bisa mendeteksi sesuatu yang terlalu ekstrem. Mata manusia tidak bisa menangkap benda yang terlalu besar atau kecil, terlalu dekat atau terlalu jauh. Mata manusia juga tidak bisa menangkap gerakan yang terlalu cepat. Mata manusia hanya bisa menangkap cahaya dengan panjang gelombang dalam suatu rentang tertentu. Telinga manusia hanya dapat menangkap suara dalam rentang frekuensi tertentu. Otak manusia hanya dapat memikirkan pola-pola yang sudah dikenalnya sebelumnya. Banyak hal yang tidak atau belum diketahui manusia, dan yang tidak atau belum pernah terpikirkan. Dan ada hal-hal yang tidak akan pernah bisa terpikirkan olehnya. Jadi kebenaran mutlak yang sejati itu harus datang dari luar manusia. Adapun manusia hanya bisa mempunyai kebenaran relatif. Tidak mungkin ada kebenaran mutlak di level manusia atau yang di bawahnya. Kebenaran mutlak harus datang dari level yang lebih tinggi, dari Allah. Jadi kebenaran mutlak adalah kebenaran yang datang dari Allah yang relatif adalah kebenaran manusia dari sudut pandangnya sendiri yang terbatas terhadap kebenaran mutlak tersebut. Hanya ada satu kebenaran mutlak, yang bersifat objektif, yang dikelilingi oleh banyak kebenaran relatif yang bersifat subyektif, bagaikan matahari yang dikelilingi planet-planet. Makin dekat kebenaran relatif itu kepada kebenaran mutlak maka ia makin benar. Jadi yang relatif harus mendekati yang absolut, subyektivitas harus mengejar obyektivitas, untuk memperkecil kesenjangan di antara renungan singkat di atas bisa membuat kita menjadi lebih rendah hati, paling tidak sadar bahwa apapun pendirian atau pendapat kita, itu hanyalah kebenaran relatif, kebenaran dari sudut pandangnya sendiri. Karena kita cenderung melupakan hal ini, dan memutlakkan yang relatif tersebut. Orang yang memutlakan yang relatif saya sebut sebagai orang yang sok mahatahu’. Orang seperti ini merasa dia memikiki kebenaran mutlak yang sebenarnya hanya milik Tuhan; inilah yang dinamakan kebenaran virtual’ yaitu kebenaran relatif yang dimutlakkan. Sikap sok mahatahu’ membuat kita menjadi otoriter, merasa paling benar, sombong, kasar , mudah menuduh dan menghakimi. Kita sering tidak sadar bahwa sehebat apapun penalaran kita dan seluas apapun pengetahuan kita, masih banyak hal-hal yang tidak kita ketahui. Sangat mungkin jika yang belum kita ketahui tersebut akan mengubah secara drastis semua pandangan kita yang lama, jika itu 'sok mahatahu' seperti tersebut di atas telah kita saksikan sendiri belum lama ini di senayan. Gaungnya sampai kemana-mana, bahkan sampai di Kompasiana dari "The Answer" Lihat Filsafat Selengkapnya Suatu saat, penulis menemukan gambar yang menarik di internet. Pada gambar tersebut, terbaring gambar angka tidak jelas 6 atau 9 secara horizontal di lantai. Di ujung-ujung gambar angka tersebut terdapat dua orang yang berdiri saling berhadap-hadapan. Orang pertama menunjuk gambar angka yang tergeletak di lantai dan berkata “six!” karena dari sudut pandangnya terlihat seperti angka 6, sementara orang kedua menunjuk gambar angka yang sama dan berkata “nine!” karena dari sudut pandangnya terlihat seperti angka 9. Di bawah gambar tersebut kemudian tertulis caption “Just because you are right, does not mean, I am wrong. You just haven’t seen life from my side” hanya karena anda benar, bukan berarti saya salah. Anda hanya belum melihatnya kehidupan dari perspektif saya, mengindikasikan kebenaran tidaklah tunggal dan bersifat relatif. Dalam diskusi keagamaan, ada juga yang menggunakan argumen sejenis untuk mengutarakan pandangannya. Ketika ditanya benar/salahnya perilaku homoseksual, seorang mahasiswa Muslim dengan gagah atau gegabah mengatakan “Kebenaran itu hanya milik Allah! Kita tidak punya hak untuk menyalahkan orang lain!” Ketika ditanya tentang status kebenaran ajaran agamanya, seorang cendekiawan Muslim berkilah “Benar menurut saya belum tentu benar menurut orang lain. Kebenaran itu relatif, yang mutlak hanyalah Allah.” Perkataan-perkataan tersebut mengesankan bahwa sepanjang diucapkan manusia, kebenaran itu relatif. Manusia tidak mungkin dan tidak akan pernah tahu kebenaran yang hakiki, karena ia hanyalah milik Allah. Oleh karenanya, haram hukumnya jika merasa benar – apalagi sampai menyalahkan orang lain. Benarkah hanya Allah yang tahu kebenaran? Tulisan ini dibuat untuk menjawab permasalahan tersebut. Untuk menilai kevalidan klaim “kebenaran hanya milik Allah”, pertama harus ditanyakan dulu, “mungkinkah manusia mengetahui?” Jika jawabannya “tidak”, maka dengan sendirinya benarlah klaim tersebut – sepanjang masih percaya adanya Allah. Namun demikian, benarkah begitu? Inilah yang menjadi titik tolak pembahasan tulisan yang sedang anda baca. Pertanyaan “mungkinkah mengetahui” merupakan permasalahan asasi dalam epistemologi. Pertanyaan ini sudah mengemuka dari sejak zaman Yunani kuno. Pada zaman tersebut lahir aliran yang bernama sofisme. Menurut kaum sofis, semua kebenaran itu relatif. Ukuran kebenaran itu manusia man is the measure of all things. Karena manusia berbeda-beda, jadi kebenaran pun berbeda-beda tergantung Sofisme klasik kemudian bereinkarnasi menjadi skeptisisme dan Penganut skeptisisme senantiasa bersikap skeptis terhadap segala hal. Ia senantiasa meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Baginya, semua pendapat tentang semua perkara termasuk yang qathi dan bayyin dalam agama harus selalu terbuka untuk diperdebatkan. Sementara itu, penganut relativisme epistemologis menganggap semua orang dan golongan sama-sama benar, semua pendapat agama, aliran, sekte, kelompok, dan lain sebagainya sama benarnya, tergantung dari sudut pandang masing-masing. Menurut paham ini, kebenaran berada dan tersebar di mana-mana, namun semuanya bersifat Islam tentu saja menentang paham sofisme dengan segala macam bentuk reinkarnasinya. Dari sejak awal surat, Al-Qur’an mengajarkan agar manusia mencari kebenaran, karena kebenaran itu ada, dan kesalahan pun beserta orang-orang yang salahnya juga Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan jalan mereka yang dimurkai, dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Al-Fatihah 1 6-7 Ayat ini kita panjatkan sekurang-kurangnya 17x sehari dalam shalat wajib. Maka dari itu, sebenarnya sangat absurd jika seorang Muslim bersikap emoh terhadap kebenaran, meskipun dibungkus dengan kemasan’ yang cantik seperti “kebenaran hanya milik Allah”. Mengetahui tidaklah mustahil. Jadi bukan seperti yang sering diklaim oleh kaum sofis, relativis, skeptik, dan agnostik serta para penurut dan pembeonya hingga akhir zaman. Dalam hal ini, keyakinan dan pendirian Ulama kaum Muslimin Ahlus Sunnah wal Jama’ah disimpulkan secara ringkas dan akurat oleh imam An-Nasafi dalam kitabnya Haqaa’iq al-asyyaa’ tsaabitah, wa l-ilmu bihaa mutahaqqiq, khilaafan li s-suufasthaa’iyyah. Artinya, hakikat quidditas atau esensi segala sesuatu itu tetap dan oleh karena itu bisa ditangkap, tidak berubah sebab yang berubah-ubah itu hanya sifatnya, , , atau -nya saja, sehingga segalanya bisa diketahui dengan jelas, sehingga manusia bisa dibedakan dari monyet, ayam tidak disamakan dengan burung, roti dengan batu, atau akar dengan ular. Demikian pula hal-hal tersebut di atas, semuanya tidak mustahil untuk diketahui dan dimengerti, dapat dibedakan dan bisa dijelaskan. Firman Allah SWT dalam surat Az-Zumar 39 9 Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?5 Mungkin ada yang berkomentar, “Pada kenyataannya para ulama juga berbeda pendapat dalam perkara agama, bukankah itu berarti kebenaran itu relatif?” Mengenai hal tersebut, Nashruddin Syarief berkomentar dalam bukunya Menangkal Virus Islam Liberal sebagai berikut Terkait dengan adanya ikhtilaf di antara ulama yang sering dijadikan pembenar bahwa tidak ada kebenaran yang pasti, maka tentu harus dibedakan dulu mana yang qath’i dan mana yang zhanni, mana yang ushul dan mana yang furu’. Karena pastinya para ulama tidak mungkin berikhtilaf dalam masalah yang ushul dan qath’i. Kalaupun masih ada juga yang berbeda dalam kedua masalah tersebut, maka itulah orang-orang yang masuk kategori sayyi’ah dan Pun demikian bisa saja ada yang membantah “para ulama juga biasa menyebut Namun Tuhan lebih dan paling mengetahui apa yang benar’ wa Allahu a’lam bi-s shawaab, bukankah itu berarti hanya Tuhan yang paling mengerti kebenaran?” Mengenai hal tersebut, Dr. Syamsuddin Arif memberikan tanggapannya dalam buku Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Berikut tanggapannya Memang betul, ketika menafsirkan kitab suci, kita tidak boleh mengklaim bahwa kita benar-benar telah memahami maksud firman Tuhan. Tidak boleh merasa seolah-olah kita telah menangkap maksud kata-kata Tuhan yang sebenarnya. Itulah sebabnya mengapa para ulama salaf selalu mengakhiri fatwa dan karya mereka dengan kalimat “Namun Tuhan lebih dan paling mengetahui apa yang benar” wa Allahu a’lam bi-s shawaab. Kalimat ini sering disalahpahami. Para ulama salaf mengatakan ini bukan karena mereka ragu-ragu atau skeptis, bukan pula karena mereka menganut relativisme. Dalam masalah keilmuan, ulama salaf sangat tekun, teliti, dan teguh dalam berpendirian dan berargumentasi, sebagaimana dapat dilihat dalam literatur fiqih dan ilmu kalam. Kalimat tersebut mereka ucapkan semata-mata karena adab kepada Tuhan’ yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Adapun dengan sesama manusia, sikap yang ditunjukkan adalah kesanggupan menerima dan mengikuti kebenaran, dan bukan menampik atau mempertahankan Jadi, mengetahui itu mungkin saja dicapai oleh manusia. Dalam Islam pun ada perkara yang qath’i, bersifat pasti. Contohnya, dari dulu sampai sekarang Al-Ikhlas pasti dimaknai sebagai Tauhid. Dalam Islam, tidak pernah keesaan Allah dimaknai sebagai “esa tapi beranak-pinak”, “esa tapi termanifestasi dalam beberapa jenis Tuhan”, dll. Sama halnya dengan perintah shalat, shaum Ramadhan, zakat, naik haji, dll semuanya adalah tetap. Setiap Muslim, laki-laki maupun perempuan, remaja maupun dewasa, tinggal di negara Islam maupun negara sekuler, tetap wajib melaksanakannya. Sama juga halnya dengan keharaman khamr, zina, dan homoseksual. Semuanya tetap dan independen terhadap zaman – untuk menolak yang beranggapan bahwa ajaran Islam seluruhnya harus disesuaikan dengan zaman. Lalu, bagaimana caranya kita mengetahui? Tentunya dengan belajar, mencari ilmu. Berkenaan dengan ini, kita beruntung karena terdapat warisan khazanah intelektual Islam bukan warisan doktrin yang tidak terhitung jumlahnya. Tidak perlu bersikap relativis ataupun skeptis, sebab manusia bisa tahu yang benar. Wallahu Alam Daftar Pustaka [1] Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, hlm. 89 dalam Nashruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal, Bandung Persis Pers, 2010, hlm. 146. [2] Nashruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal, Bandung Persis Pers, 2010, hlm. 146-147. [3] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta Gema Insani, 2008, hlm. 140-141. [4] Nashruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal, Bandung Persis Pers, 2010, hlm. 147. [5] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta Gema Insani, 2008, hlm. 203-204. [6] Nashruddin Syarief, Menangkal Virus Islam Liberal, Bandung Persis Pers, 2010, hlm. 148. [7] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta Gema Insani, 2008, hlm. 151-152.

kebenaran hakiki hanya milik allah